Manusia Indonesia Pasca Orde Baru

Mungkin salah satu keberhasilan Orde Baru adalah sanggup membuat manusia Indonesia yang luar biasa banyaknya ini menjadi seragam. Seragam cara berpikir dan seragam jalan pikiran. Tidak gampang membuat sistem yang mampu menghasilkan output sukses semacam itu, apalagi melihat model geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau. Hanya sebuah niat yang teguh dan kukuh yang menjadikan semua hal bisa itu terwujud secara holistik.

Hubungan antara negara dan warganya adalah hubungan raja dan rakyat. Tanpa ada komunikasi dua arah. Ucapan kepala negara adalah titah. Absolutisme raja yang tidak perlu dipertanyakan. Pasti benar, tidak boleh disanggah.

Hegemoni orde baru benar-benar telah sukses mencetak manusia-manusia yang memiliki karakterstik yang unik. Manusia-manusia itu disebut manusia Orde Baru. Manusia yang berkarakter menghamba dan bergerak sesuai koridor instruksi.

Sebuah pertanyaan atau sanggahan adalah anomalitas di dalam dunia uniformitas ini. Hal itu dapat dianggap  sebagai sebuah tindakan subversif. Bila sudah dicap subversif, maka kebaikan raja akan berubah menjadi murka. Siap-siap terima nasib. Karena kepala diinjak terus seperti ini selama 35 tahun, maka jadilah manusia-manusia Indonesia manusia yang seragam, yang dilarang membuka mulut, kecuali hanya mengucapkan terima kasih.

Seperti dalam teori Gramsci, di zaman Orba, alat hegemoni tidak hanya berupa media massa tapi langsung masuk ke dalam institusi pendidikan yaitu sekolah. Sekolah menjadi alat negara, alat kontrol sosial dan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang absolut yang dinilai paling tepat untuk membentuk karakter manusia. Apalagi sekolah wajib diikuti sejak dari kanak-kanak, ini menyebabkan efek kerusakan yang ditimbulkan benar-benar besar, karena terjadi secara sistematis dan dalam periode yang lama. Kurikulum yang seragam dan karakter guru yang seragam merupakan dua pondasi yang mampu mengokohkan sistem pendidikan sentralistik-absolut ala Orde baru.

Dalam sistem pendidikan sentralistik-absolut ala orde baru ini, hubungan kepala negara dan rakyat direproduksi dalam unit-unit ruang kelas yang berisi  guru dan murid. Guru bertindak sebagai sang maha tahu, dan murid bertindak sebagai sang maha pandir. Segala ucapan guru bagai sabda dan mutlak wajib diterima. daya nalar dan kritis adalah sebuah anomalitas. Tidak boleh dibiarkan tumbuh. Tidak boleh ada sanggahan. Mulut murid harus bungkam. Murid adalah gelas kosong yang hanya boleh diisi oleh satu sumber mata air, yaitu guru. Celakanya, hal ini terjadi secara terus menerus selama masa sekolah 14 tahun (TK-SMA).

****

Tapi kini zaman itu sudah lewat. Sekarang sudah zaman demokrasi. Mungkin saja Orde baru telah berkalang tanah, tetapi pada dasarnya manusia-manusianya tetap sama. Generasi tua yang masih berkarakter dan bermental manusia Orde baru masih hidup dan masih banyak. Apalagi generasi tua ini masih menduduki pemerintahan. Mungkin sudah kita pahami bahwa dalam setiap perubahan, resistensi terbesar selalu berada pada generasi tua. Mungkin karena kemampuan adaptifnya sudah berkurang sehingga lebih cenderung pragmatis dan lebih nyaman dengan status quo-nya.

Hal ini tentunya menghawatirkan. Generasi muda pasca orde baru jika masih saja berkiblat pada generasi tua maka hasilnya tentu sama saja, muncul manusia Orde Baru v.2. Oleh karena itu, karakter manusia Indonesia pasca Orde baru harus dibangun ulang. Dan jalannya adalah sama seperti ketika Orde baru sukses membentuk manusianya yaitu melalui pendidikan.

Oleh karena itu sistem pendidikan yang masih mengagungkan keseragaman baik cara berpikir, daya nalar, daya imajinasi maupun sumber pengetahuan sudah tidak relevan. Itu adalah pengkhianatan pada reformasi. Anak-anak harus diajarkan untuk kritis bertanya atau berpendapat, tidak malu mengutarakan ide maupun perasaannya kepada orang lain, baik itu teman sebaya maupun orang yang lebih tua. Generasi pasca orde baru tidak boleh lagi diajarkan (lebih tepatnya diarahkan dengan paksa) bahwa hal ini salah dan hal itu benar. Hal itu akan menumbuhkembangkan intoleransi di kemudian hari. Lihat saja contohnya, manusia-manusia bigot hasil didikan Orde baru yang suka merusak, hanya karena pemahamannya yang sempit itu mengajarkan bahwa orang lain mutlak salah dan hanya dialah yang mutlak  benar.

Manusia Indonesia pasca orde baru haruslah humanis, dimana faktor kemanusiaanlah yang menjadi titik acuan dalam berintekasi dengan orang lain. Serta manusia Indonesia pasca orde baru harus diajarkan untuk mengerti konsekuensi dan tanggungjawab, dimana setiap hal yang dilakukan harus dicerna dulu apakah potensi mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya atau sebaliknya.